Jangan jejali aku dengan berita buruk itu. Sungguh, baris-baris kalimat yang ditulis dengan darah peradaban bangsa ini telah menyiksaku, menjerumuskanku pada setitik kegetiran.
Hari ini, hari yang kesekian, kembali aku membuka lembar-lembar surat kabar ini, dengan satu pengharapan sederhana; aku ingin menemukan cinta. Ceritakanlah padaku sebuah kisah tentang cinta, kasih dan pengorbanan. Sekali saja!
Tapi lembar demi lembar surat kabar itu menjelma semu di mataku. Deretan huruf-huruf sengaja disayat, dipotong untuk memagari ketenteraman semu yang mereka tumbuhkan di tiap lembar sejarah ini.
Pikiranku menerawang ke sebuah tempat yang entah. Ke sebuah pemukiman kumuh di pojok kota. Hanya cahaya pagi yang berhak menghapus mimpi-mimpi kecil dalam kelembaban rumah-rumah kardus sepanjang perbatasan ibukota. Inikah gambaran kecil peradaban ini? Atau jangan-jangan, inilah ketakutan terbesar yang sedang mengombang-ambingkan perjalanan nasib.
Membaca surat kabar hari ini, sungguh aku merasa membaca semesta. Aku nyaris mengerti. Kemegahan ibukota telah ditumpahi tinta buram dari darah huruf-huruf yang disayat. Yang dipotong sebelum dideretkan dalam halaman sejarah yang wajib dihapal esok pagi.
Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Menunggu untuk sebuah pertimbangan yang tak berkesudahan. Aku terlalu bosan dengan pertikaian demi pertikaian yang senantiasa membuatku tersudut.
Sungguh, ingin sekali aku menjumpai cinta di lembar sejarah ini. Maka, ceritakanlah padaku kisah tentang drama percintaan semesta, meski (mungkin) hanya sebuah dongeng pengantar tidur saja.
Digubah dari puisi surat kepada aistyaningnung 5
Hari ini, hari yang kesekian, kembali aku membuka lembar-lembar surat kabar ini, dengan satu pengharapan sederhana; aku ingin menemukan cinta. Ceritakanlah padaku sebuah kisah tentang cinta, kasih dan pengorbanan. Sekali saja!
Tapi lembar demi lembar surat kabar itu menjelma semu di mataku. Deretan huruf-huruf sengaja disayat, dipotong untuk memagari ketenteraman semu yang mereka tumbuhkan di tiap lembar sejarah ini.
Pikiranku menerawang ke sebuah tempat yang entah. Ke sebuah pemukiman kumuh di pojok kota. Hanya cahaya pagi yang berhak menghapus mimpi-mimpi kecil dalam kelembaban rumah-rumah kardus sepanjang perbatasan ibukota. Inikah gambaran kecil peradaban ini? Atau jangan-jangan, inilah ketakutan terbesar yang sedang mengombang-ambingkan perjalanan nasib.
Membaca surat kabar hari ini, sungguh aku merasa membaca semesta. Aku nyaris mengerti. Kemegahan ibukota telah ditumpahi tinta buram dari darah huruf-huruf yang disayat. Yang dipotong sebelum dideretkan dalam halaman sejarah yang wajib dihapal esok pagi.
Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Menunggu untuk sebuah pertimbangan yang tak berkesudahan. Aku terlalu bosan dengan pertikaian demi pertikaian yang senantiasa membuatku tersudut.
Sungguh, ingin sekali aku menjumpai cinta di lembar sejarah ini. Maka, ceritakanlah padaku kisah tentang drama percintaan semesta, meski (mungkin) hanya sebuah dongeng pengantar tidur saja.
Digubah dari puisi surat kepada aistyaningnung 5
1 comments:
huhu saya ga ada cerita cintaaa....
ada sii tp ga bagus buat dikisahkan.selalu bad end
huaaaaaaaa
Post a Comment